Apa yang dilakukan setelah anak lulus..?

Ada satu pertanyaan menggelitik dari salah satu parents, yang kira-kira bertanya, "Apakah kita sebagai orang tua baik bila membantu mencarikan pekerjaan bagi anak-anak kita yang baru lulus..?".

Menjawab pertanyaan itu, saya akan share pengalaman saya terhadap anak sulung saya, Riska. Riska adalah alumni sekolah Psikologi dari UK, dan karena lulus bertepatan dengan Brexit tahun 2018, maka pada awal 2019 dia harus segera pulang ke tanah air dan memulai karir di Indonesia.

Terus terang saya buta tentang bidang psikologi ini. Setelah saya bertanya kiri kanan, maka kesimpulan saya beberapa opsinya adalah, menjadi tenaga klinis (yg harus sekolah lagi untuk menjadi psikolog profesional), bekerja di korporasi (tentunya dari jalur HRD), menjadi akademisi atau menjadi researcher.

Sebagai orang tua, tentu saya saya ingin membantu kariernya, dan yang paling bisa saya lakukan diantara opsi di atas, hanya di bidang korporasi. Saya tidak langsung terang-terangan memberikan bantuan tersebut. Saya mengajak Riska bertemu dengan teman-teman yang punya posisi di korporasi, dan saya ingin Riska sendiri yang melihat peluangnya.

Namun, ternyata Riska sama sekali tidak tertarik bekerja di korporasi. Idealismenya adalah dalam dunia pendidikan. Maka, atas usahanya sendiri sebulan setelah dia kembali ke tanah air, dia bekerja di perusahaan education consultant. Dia mendapat salary sedikit di atas UMR plus bonus komisi kalau berhasil membantu kliennya. Ternyata dia hanya bertahan 6 bulan, karena Riska kurang memiliki passion dalam salesmanship mencari klien. Sales itu harus punya sikap, bahwa apapun 'barang' yang kita jual adalah barang yang terbaik, sementara karena dia mengalami sendiri sekolah di UK, maka dia terlalu polos, untuk mengatakan kepada kliennya bahwa sekolah di UK ada yang baik dan kurang baik.

Dia akhirnya memilih pindah pekerjaan ke edutech startup di daerah Bogor. Gajinya persis sama, tapi dia lebih menyukai bidang itu. Di sini dia mulai mengerti arti materi (salary), karena harus kost di Bogor. Sesuai dengan kemampuan finansialnya, maka ia kost di kamar tanpa AC, naik KRL kalau weekend pulang ke BSD, naik ojek sehari-hari dari kost ke tempat kerja, tapi dia menikmatinya. Dia juga mulai belajar hal-hal baru dalam dunia eductech startup. Di perusahaan ini, dia belajar mengisi content yang terkait dengan ilmunya, dan belajar tentang data analytic. Ternyata dia tertarik ke data analytic tersebut dan bertahan di perusahaan itu selama 12 bulan.

Anak-anak sekarang network mereka berkembang melalui Linkedin. Jadi tidak seperti kita dulu yang hanya berbekal menulis lamaran kerja kesana kemari. Karena rajin mengupdate portfolio di Linkedin dan Youtube-nya beredar kemana-mana, Riska diapproach oleh edutech company lain yang lebih besar di Jakarta, dan ditawari menjadi data analist di perusahaan itu. Dia sudah mulai paham juga soal materi (salary), jadi mulai bisa memvalue dirinya dan mulai mendapat salary yang cukup untuk entry level hidup di Jakarta.

Performance Riska kelihatannya cukup baik di perusahaan ini, dan objective teamnya untuk mendapatkan pendanaan Series A (sekian puluh juta US dollar) akhirnya tercapai. Salary dia diperusahaan ini naik cepat, dan sudah mulai mencapai double digit. Selain itu Riska mulai belajar hal lain, yaitu sisi finansial dalam startup company.

Di perusahaan ini dia mulai belajar banyak hal baru, dan Riska mulai bisa memilih-milih jenis industri yang nyaman bagi dirinya. Di perusahaan ini Riska bertahan selama 18 bulan, dan melalui jaringan Linkedin lagi, Riska ditawari pindah bekerja ke startup lain yang bergerak di bidang Fintech.

Riska menambah idealismenya, untuk pindah bekerja di startup company yang tidak hanya mengandalkan pendanaan dari investor, tapi juga mempunyai real company income yang 'masuk akal'. Ketika dia menyampaikan akan pindah ke perusahaan lain tersebut, C level-nya sempat menahan, dan memberikan iming-iming salary yang lebih besar, tapi Riska tidak bergeming untuk bertahan, karena idealisme pilihan industri-nya, dia ingin beralih dari edutech ke fintech.

Singkat cerita, dia akhirnya pindah dan memulai karirnya di perusahaan Fintech yang baru ini. Bidang yang dia tekuni namanya Product Management. Dimulai dari posisi sebagai associate PM sejak 6 bulan yang lalu, dan awal bulan kemarin baru naik pangkat jadi PM beneran, punya assistant dan beberapa anak buah. Sebagian besar subordinatnya adalah cowok, beberapa ada yang lebih senior umurnya dan berasal dari alumni universitas ternama di Indonesia.

Dia masih sering diskusi dan minta pendapat saya. Saya justru kadang-kadang harus belajar tentang istilah-istilah yang digunakan anak2 start up, walaupun saya yakin secara common sense management, tidak berubah banyak. Kalau bicara number of target, bahkan perusahaan yang saya kelola harus merasa kecil, karena anak2 'kencur' ini mengelola magnitude number jutaan dollar. Dan tentu saja, target tersebut linear dengan salary yang diberikan oleh perusahaan sesuai tanggung jawabnya. Dalam kurun kurang dari 4 tahun bekerja, secara salary tumbuh 400%, 100% pertahun... not bad kan.

Nah morale of the story :

1. Anak-anak kadang-kadang ada yang ingin lepas dari bayang-bayang orang tua. Dia ingin menunjukkan, bahwa prestasi yang ia capai adalah murni berkat usaha mereka. Jadi sebagai orang tua, tugas kita adalah memberikan establishment kepada mereka dan selanjutnya hanya mengawal saja.

2. Value of money tidak bisa langsung dipahami oleh mereka. Tapi ketika dia dipaksa keadaan untuk survive, maka mereka mulai bisa paham, dan bisa memvalue kemampuannya sendiri. Sesuai hasil diskusi saya dengan Riska, banyak anak-anak yang sering merasa undervalued (karena sangat butuh pekerjaan), dan overvalued (karena merasa lulusan sekolah top tapi tidak punya pengalaman bekerja).

3. Pilihan lingkungan pekerjaaan yang nyaman bagi masing-masing anak sangat menentukan performance-nya. Jadi biarkan mereka menemukan sendiri. Kriteria anak sekarang mungkin memang beda dengan kita yang 'tahan lama' bekerja di satu tempat sampai tua. Anak sekarang lebih butuh challenge, bisa belajar banyak dan tentunya nyaman bagi dirinya.

4. Network sangat penting. Jadi bantulah anak-anak untuk mengembangkan network mereka sendiri, tapi ingat point 1 di atas.

5. Selama kita tidak menggurui, maka anak-anak akan menganggap kita sebagai mentor terbaik mereka.

Demikian, semoga bermanfaat.